Esai Satir: Kaum Tertindas di Bawah Panji Partai Amanat Nasional
Esai Satir: Kaum Tertindas di Bawah Panji Partai Amanat Nasional
**Judul**: *Ketika Partai Amanat Nasional Menjadi Api, Kaum Tertindas Mengangkat Parang*
Di tengah hiruk-pikuk perpolitikan negeri ini, tatkala kaum tertindas memandang ke langit berharap sebuah amanat dari langit turun membebaskan mereka dari jerat kemiskinan dan ketidakadilan, datanglah sosok yang bersumpah atas nama Amanat. Ia bukanlah nabi, melainkan politisi yang lahir dari rahim partai berlambang matahari, yang mengaku dirinya adalah pembawa amanat keadilan untuk semua.
Namun, sebagaimana api yang sering kali tak pandang bulu dalam membakar, Amanat ini pun menyala dengan indah di bibir-bibir, tapi gersang di hati para rakyat kecil. Amanat ini bak para dewa Olimpus yang sedang berdiskusi soal nasib manusia, sementara kaum tertindas menanti-nanti kapan remah-remah dari meja pesta politik akan jatuh ke piring mereka.
Dalam situasi ini, kaum tertindas menjadi saksi bisu bagaimana janji-janji manis yang dulu dielukan sebagai matahari pagi, kini berubah menjadi sinar terik yang membakar harapan. Sementara itu, mereka yang menyebut diri sebagai pengusung Amanat terus berkicau di podium-podium, mengelus-elus ego mereka yang terselubung oleh retorika kosong. Kaum tertindas dibiarkan tersesat dalam labirin janji, mencari pintu keluar yang tak pernah ada.
Mari kita renungkan sejenak: apakah yang dilakukan oleh Amanat ini jika tidak merawat ilusi? Mereka menciptakan sebuah dunia dimana kaum tertindas dibiarkan hidup dalam angan-angan. Satu-satunya yang menjadi nyata bagi mereka adalah ketidakberdayaan yang semakin mengakar, diiringi oleh ketidakpedulian yang membudaya.
Di atas panggung politik, mereka yang terpilih untuk membawa Amanat seolah lupa pada prinsip-prinsip dasar yang seharusnya menjadi landasan mereka: keadilan, kesetaraan, dan kebebasan. Mereka memilih bermain dalam permainan politik kotor, di mana yang penting bukanlah rakyat, melainkan kuasa dan posisi.
Amanat ini, yang semula menjadi simbol harapan, kini justru menjadi cambuk bagi kaum tertindas. Seolah-olah mereka disuruh untuk berlari lebih cepat dalam perlombaan yang aturannya tak pernah mereka mengerti. Kaum tertindas adalah penonton dalam pertunjukan besar ini, yang diperlihatkan mimpi indah tentang kemakmuran, namun dibiarkan terjaga dalam kemiskinan.
Sementara itu, di republik langit—tempat di mana segala idealisme dan harapan rakyat seharusnya dijaga—para pemimpin spiritual kita hanya bisa tersenyum pahit. Mereka tahu bahwa amanat yang mereka usung telah kehilangan makna dalam perjalanan panjang ini. Kaum tertindas yang semula diharapkan menjadi ujung tombak perubahan, kini justru diperalat untuk kepentingan segelintir elite.
Pada akhirnya, kita hanya bisa berharap bahwa suatu saat nanti, Amanat ini akan kembali ke jalur yang benar. Bahwa mereka yang mengaku sebagai pembawa amanat akan kembali melihat kaum tertindas bukan sebagai pion dalam permainan catur politik, melainkan sebagai saudara yang perlu dibebaskan dari belenggu penindasan.
Dan ketika itu terjadi, kita semua akan melihat bagaimana kaum tertindas akan mengangkat parang mereka, bukan untuk berperang, tetapi untuk membuka jalan menuju keadilan yang telah lama tertunda.
@Presiden Republik Langit, tolong sampaikan pada mereka di bawah sana: Kaum tertindas tak butuh Amanat yang hanya bersinar di langit, tapi yang memberi mereka tempat berteduh di bawah matahari yang sama.
Jakarta, 24 Agustus 2024
@Genghiskhan
@garda Indonesia
@presiden republik langit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar