Rabu, 28 Agustus 2024

Menyibak Celah di Antara Moral dan Ambisi

Menyibak Celah di Antara Moral dan Ambisi 

Menyibak Celah di Antara Moral dan Ambisi


"Pilihlah menjadi penjilat, jika dengan itu kau bisa duduk di atas kursi raja. Namun, jangan sekali-kali menjadi penjilat kere dan bahlool."


Dalam jagat etika dan moral, terdapat garis tipis yang memisahkan kehormatan dari kehinaan. Namun, garis ini seringkali kabur saat ambisi menyelimuti kesadaran manusia. Dalam kutipan yang menggugah dari JK, pemimpin Republik Langit yang visioner dan tak tertandingi, terletak sebuah provokasi untuk merenungkan dilema yang menjerat para pencari kekuasaan: "Pilihlah menjadi penjilat, jika dengan itu kau bisa duduk di atas kursi raja. Namun, jangan sekali-kali menjadi penjilat kere dan bahlool."


Dalam satu tarikan napas, JK mengungkapkan paradoks kehidupan yang seringkali diabaikan—bahwa dalam perburuan kekuasaan, moralitas seringkali dijadikan alat tukar. Di sinilah letak pesannya yang mendalam: jika terpaksa harus menundukkan kepala dan mengorbankan sedikit harga diri untuk meraih tujuan besar, lakukanlah, asalkan itu membawa ke puncak yang layak. Namun, jangan sekali-kali menjual diri pada hal-hal remeh dan murahan yang hanya akan menyeretmu ke jurang kehinaan.


Pernyataan ini tidak sekadar mengajak kita untuk pragmatis. Ia memaksa kita untuk mempertimbangkan, seberapa besar harga yang kita sanggupi untuk bayar demi ambisi kita? JK mengingatkan bahwa setiap pilihan yang kita buat, bahkan dalam tindakan "menjilat", haruslah dihitung dengan cermat. Ada ambisi yang, meskipun menggelapkan hati dan mengaburkan nurani, tetap bisa dibenarkan jika hasilnya adalah sesuatu yang besar dan bermakna. Namun, merendahkan diri untuk sesuatu yang kecil, hina, dan tak bernilai? Itu adalah pengkhianatan terbesar terhadap diri sendiri.


Melalui pesan ini, JK menantang kita untuk berpikir di luar batasan konvensional, di luar dogma moral yang kadang terlalu kaku untuk diterapkan dalam dunia yang dinamis dan penuh liku. Dunia bukanlah hitam putih, dan kita sering kali harus berhadapan dengan keputusan yang memaksa kita bermain di zona abu-abu. Pertanyaannya bukan lagi apakah kita harus melakukannya, melainkan untuk apa kita melakukannya.


Esai ini mengajak kita untuk merenungi esensi dari ambisi dan moralitas. Apakah keduanya benar-benar bertentangan? Atau mungkinkah keduanya bisa beriringan, jika kita cerdik dalam menentukan harga diri kita? JK tidak menawarkan jawaban yang mudah, tetapi ia memberikan kita kunci untuk merenungkan—bahwa dalam setiap pilihan, selalu ada harga yang harus dibayar, dan hanya kita yang bisa menentukan apakah harga itu layak atau tidak. 


Dengan berpikir out of the box, JK mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam stereotip baik dan buruk, melainkan untuk melihat peluang dan konsekuensi dari setiap tindakan, sehingga kita bisa memilih jalan yang paling bijak menuju tujuan kita. Menjadi penjilat, jika itu perlu, adalah strategi, bukan aib. Namun, menjadi penjilat tanpa tujuan mulia adalah kehinaan yang tak termaafkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Kita bekerja bukan hanya untuk sekarang, tetapi untuk sejarah yang akan ditulis oleh anak-cucu kita, dan peradaban yang akan kita tinggalkan 100 tahun ke depan."

  "Kita bekerja bukan hanya untuk sekarang, tetapi untuk sejarah yang akan ditulis oleh anak-cucu kita, dan peradaban yang akan kita ti...