Prolog "Gemericik Rintik di Situgede
Prolog "Gemericik Rintik di Situgede
Penulis bersama ustadz Latif Marasabesy
Malam itu, Situgede yang biasanya hening, tiba-tiba terasa hidup. Bukan hidup yang menyenangkan, tetapi hidup dengan nafas asing yang menghembuskan aroma misteri. Bulan bersembunyi di balik awan, seolah takut menyaksikan apa yang akan terjadi.
I. Bayangan di Balik Pohon
Di tepian Situgede, pohon-pohon besar berdiri tegak, akarnya mencengkeram tanah seolah berusaha menahan sesuatu yang ingin keluar. Di salah satu sudut, ada pohon beringin tua, yang konon katanya, adalah tempat favorit penunggu danau ini. Setiap malam, bayangan hitam melesat cepat dari satu cabang ke cabang lainnya. Bayangan yang tidak pernah menampakkan wujudnya, namun selalu ada di sudut mata, siap menyerang ketika kau lengah.
Seorang pemuda gagah perkasa, Ubay namanya, berani menantang malam itu. Dengan angkuh, ia menyalakan rokok di bawah beringin, membiarkan asapnya melayang-layang seperti mimpi yang terbuang. "Ah, cuma mitos!" gumamnya sembari tertawa kecil. Tapi, tawa itu tak bertahan lama. Hembusan angin tiba-tiba berubah menjadi bisikan.
"Kau bukan yang pertama... dan pasti bukan yang terakhir," suara itu datang dari segala arah. Tubuh Ubay mendadak kaku, rokok jatuh dari tangannya, padam seketika saat menyentuh tanah. Ia berusaha mencari asal suara itu, namun hanya kegelapan yang menyambut.
II. Air yang Berbisik
Ketika angin mulai mereda, dan sunyi mengambil alih, tiba-tiba terdengar gemericik air dari danau. Namun, gemericik itu bukan biasa—terdengar seperti rintihan, seperti air itu sendiri merasakan derita yang tak terperi. Setiap riak membawa cerita, setiap gelombang menggulung rahasia yang tersembunyi di dasar danau.
Kaki Ubay mulai mundur perlahan, tetapi semakin ia menjauh, semakin air itu menggoda. "Mau tahu rahasiaku?" air berbisik manis, namun ada sesuatu yang menyeramkan dalam suaranya. Ubay tidak mampu mengontrol tubuhnya yang tiba-tiba berjalan mendekati danau. Setiap langkahnya terasa seperti ribuan ton beban, memaksa jantungnya bekerja lebih keras, seolah-olah detak itu akan segera berhenti.
III. Pertemuan dengan Hantu Rosyadi
Di ambang kewarasan, Ubay melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada. Di tengah danau, sosok tinggi menjulang dengan jubah hitam yang bergoyang mengikuti angin. Wajahnya tak jelas, kabur seperti bayangan dalam mimpi buruk yang nyaris terlupakan. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatian—senyuman yang samar, menyakitkan, dan dingin.
"Suka dengan kejutan ini, Ubay?" sosok itu berbicara, dan kali ini suaranya bukan bisikan, tapi resonansi yang menggema di seluruh tubuhnya. "Aku adalah Desmontanes, penguasa takdir yang kau remehkan. Di tempat ini, di Situgede, aku adalah segala sesuatu yang kau takuti namun tak bisa kau hindari."
Ubay ingin berteriak, tapi suaranya hilang. Tubuhnya tak lagi miliknya, dan ia merasa seperti boneka kayu yang tali-tali pengendalinya dipegang oleh entitas gelap itu.
IV. Menjadi Bagian dari Misteri
Langit mulai menghitam, dan bintang-bintang menghilang satu per satu. Danau yang tadi berbisik sekarang mengaum, gelombang air mulai menarik Ubay ke dalamnya. Ia meronta, berusaha melawan, tapi sia-sia. "Ini bukan tentang bertahan hidup, Ubay" Hantu Rosyadi berbisik lembut, "ini tentang menerima takdirmu."
Saat tubuhnya terseret ke dalam danau, rasa dingin menyelimuti seluruh tubuhnya, menyusup hingga ke tulang. Ubay merasa jantungnya semakin lambat, setiap detak menjadi lebih jarang, hingga akhirnya... sunyi.
Namun, sebelum segalanya gelap, ia mendengar suara air terakhir yang mengiris kesadarannya, "Selamat datang di abadianku."
Epilog:
Situgede kembali hening, seolah tak pernah ada kejadian. Pohon beringin tua tetap berdiri, kokoh dan tenang. Danau itu kini sunyi, tenang, dan damai... setidaknya hingga ada jiwa lain yang berani menantang misteri Situgede. Tapi di sana, di kedalaman air, sesuatu menunggu dengan sabar, karena di sinilah tempat segala mimpi buruk menjadi kenyataan, dan di sinilah tempat mereka yang sombong akhirnya bertemu dengan kebenaran yang tak terelakkan.
Hantu Rosyadi tersenyum, menunggu mangsa berikutnya.
Tangerang 21 Agustus 2024
@Rosihan J. Khan
@garda Indonesia
@presiden republik Langit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar