Rabu, 16 Oktober 2024

The Soulmate

 




The Soulmate




The Soulmate

by Jenghiskhan (JK)


Pembukaan


Di bawah langit yang luas, di tengah riuhnya dunia yang tak pernah diam, ada dua jiwa yang tertarik oleh takdir yang tak terelakkan. Bukan pertemuan yang biasa, bukan pula cinta yang lahir dari kebetulan. Ini adalah perjalanan dua manusia yang dipisahkan oleh jarak dan budaya, namun dipersatukan oleh visi besar dan kekuatan cinta yang tak terukur.


Di antara benua-benua yang membentang, angin membawa bisikan tentang seorang pria dari Timur, yang memimpikan dunia dengan keadilan dan kasih sayang. Dialah Jenghiskhan (JK), sosok berapi-api dengan hasrat mengubah peradaban. Sementara di sisi lain dunia, di hamparan tanah Rusia yang dingin, berdiri Luba Sarapova—seorang wanita tangguh dengan pikiran tajam dan hati lembut. Dalam diri mereka, hidup mimpi yang sama: membangun dunia yang baru, bersama.


Takdir membawa mereka untuk bertemu, bukan di atas panggung kemewahan, melainkan di medan perjuangan, tempat di mana cinta dan ide-ide besar menemukan jalannya. Inilah kisah dua jiwa yang berjuang, bukan hanya untuk cinta, tetapi untuk dunia yang lebih baik, dunia yang mereka yakini bisa mereka bangun—bersama.


"In the dance of fate, we found each other, and in each other, we found the world."



Bab 1: Pertemuan di Bawah Langit


Pagi itu, di sudut dunia yang berbeda, JK memandang ke horizon jauh dari balkon kecil kantornya. Langit Jakarta tampak mendung, tapi di dalam hatinya, badai yang sesungguhnya sedang berkecamuk. Visi globalnya sudah begitu jelas di kepala, tetapi ada satu bagian dari puzzle hidupnya yang masih kosong. Sesuatu—atau seseorang—yang dia tahu harus segera dia temukan.


Sementara itu, ribuan kilometer jauhnya, di tengah dinginnya Moskow, Luba Sarapova menatap lurus ke arah cakrawala yang sama. Udara dingin tidak mengusik fokusnya. Sebagai seorang ahli strategi politik dan sosial di Rusia, dia terbiasa menghadapi kerasnya kehidupan. Namun, di balik mata elangnya, ada rasa sepi yang selalu mengintai, seolah ada sesuatu yang belum terlengkapi dalam dirinya.


Di dunia yang begitu luas, takdir sering bermain dengan cara-cara misterius. Pertemuan mereka tidak terjadi melalui kebetulan biasa, tapi melalui jaringan pemikiran global yang mulai saling terhubung. JK, dengan ide-ide besarnya, telah menarik perhatian beberapa figur kunci di Eropa Timur. Dan di antara mereka, Luba Sarapova adalah nama yang paling mencuri perhatian.


Hari itu, sebuah konferensi internasional diadakan di Jenewa. Di sanalah, JK dan Luba bertemu untuk pertama kalinya. Bukan sebuah pertemuan penuh drama seperti di film, melainkan sebuah percakapan serius di antara dua pikiran besar. Saat mereka berbicara tentang dunia—tentang keadilan, perubahan, dan visi besar untuk masa depan—mereka berdua merasakan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kesamaan ide. Ada sebuah koneksi yang tak terucapkan, yang hanya bisa dipahami oleh hati mereka masing-masing.


JK merasakan ada kekuatan dalam diri Luba yang berbeda dari siapapun yang pernah dia temui. Di balik dinginnya analisis dan ketajaman pikirannya, Luba memiliki hati yang penuh cinta dan dedikasi pada dunia. Sebuah magnet tak kasat mata menariknya semakin dekat pada wanita Rusia ini.


"Saya selalu percaya bahwa dunia tidak bisa diubah dengan ide semata, tetapi dengan jiwa yang penuh cinta dan keberanian," ucap JK dalam bahasa Inggris yang sempurna, memandang Luba dengan tatapan tajam namun penuh kelembutan.


Luba tersenyum kecil. “Dan cinta itu kadang ditemukan di tempat yang paling tak terduga,” balasnya, seolah mengisyaratkan sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar ide.


Malam itu, percakapan mereka melampaui diskusi politik dan strategi global. Mereka berbicara tentang kehidupan, tentang mimpi-mimpi yang belum terwujud, dan tentang kekosongan yang terasa di dalam diri mereka masing-masing, yang seolah perlahan mulai terisi satu sama lain. Di bawah langit yang sama, dua jiwa yang selama ini terpisah oleh jarak akhirnya menemukan rumah mereka—di dalam hati satu sama lain.


Dan begitulah, tanpa sadar, benih cinta mulai tumbuh di antara mereka, diiringi oleh cita-cita besar untuk mengubah dunia. Pertemuan itu bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah perjalanan panjang yang penuh tantangan, cinta, dan perjuangan. Mereka tahu, takdir sudah menetapkan arah. Kini, tinggal bagaimana mereka melangkah bersama menuju masa depan yang sudah menanti.


"Di bawah langit yang luas ini, kita bertemu. Bukan kebetulan, tapi panggilan jiwa."



---


To be continued...



Bab 2: Koneksi Tanpa Batas


Matahari belum sepenuhnya naik ketika JK membuka pesan di ponselnya. Di antara banyak email dan notifikasi, ada satu pesan dari Luba Sarapova. Sesederhana sapaan biasa, namun ada getaran yang berbeda dalam kata-katanya. Malam setelah konferensi di Jenewa, percakapan mereka berlanjut, namun kali ini tidak di ruang-ruang formal, melainkan di dunia maya, melalui pesan-pesan yang intens dan mendalam.


"Kamu percaya pada nasib, JK?" tanya Luba dalam salah satu pesannya. Ada nuansa penasaran dan ketertarikan yang tidak bisa dia sembunyikan.


JK tersenyum sambil membaca pesan itu. Di tangannya, cangkir kopi terasa hangat, kontras dengan pikirannya yang mulai bermain dengan berbagai kemungkinan. Dia tahu bahwa hubungannya dengan Luba bukan sekadar obrolan ringan antar dua orang yang kebetulan berbagi visi global. Ada sesuatu yang lebih besar yang mulai terbentuk di antara mereka—sebuah jembatan yang melintasi benua, budaya, dan mungkin juga waktu.


"Aku percaya pada nasib yang diciptakan oleh tindakan kita. Takdir ada di tangan mereka yang berani melangkah," balas JK singkat, tetapi sarat makna.


Koneksi antara mereka semakin dalam. Hari demi hari, percakapan mereka bukan hanya soal politik atau strategi global, tetapi tentang mimpi-mimpi pribadi, tentang kerinduan yang tak terucapkan. Luba, di balik wibawanya sebagai seorang ahli strategi, ternyata menyimpan keinginan sederhana: hidup yang tenang di bawah langit yang damai, bersama seseorang yang bisa memahami jiwanya. JK, di sisi lain, merasa bahwa misi hidupnya menjadi lebih jelas. Dunia yang ingin dia bangun, kini terasa kurang lengkap tanpa kehadiran Luba di sisinya.


Sebuah malam yang tenang di Moskow, Luba menatap salju yang perlahan turun dari langit, menutup jalanan dengan lapisan putih yang damai. Dalam keheningan, pikirannya terbang ke arah JK. Di antara dinginnya udara Rusia, dia menemukan kehangatan dalam pesan-pesan JK. Setiap kata yang ditulisnya seolah membawa api semangat yang membara, namun sekaligus menenangkan, seperti seseorang yang tahu ke mana tujuan hidupnya.


"JK," tulis Luba di ponselnya, "apa kamu pernah berpikir bahwa mungkin, ada lebih dari sekadar visi yang mempertemukan kita?"


Pesan itu terkirim, dan Luba merasa seolah hatinya ikut terbang bersama kalimat itu. JK, yang saat itu sedang dalam perjalanan menuju sebuah rapat penting, menerima pesan tersebut dan berhenti sejenak. Dia memandangi layar ponselnya, lalu menulis balasan yang singkat namun kuat.


"Aku pikir, mungkin kita sudah terhubung jauh sebelum kita bertemu. Seperti dua sungai yang mengalir dari hulu yang sama, menuju samudra yang sama."


Percakapan itu menjadi titik balik. Mereka mulai menyadari bahwa pertemuan mereka bukanlah kebetulan. Ada magnet yang menarik mereka bersama, lebih dari sekadar visi atau impian global. Ada perasaan yang tumbuh, sesuatu yang bahkan logika tidak bisa menjelaskan sepenuhnya. Keduanya merasa, seolah-olah ada takdir yang sudah menggariskan mereka untuk saling melengkapi, tidak hanya dalam perjuangan global, tetapi juga dalam kehidupan pribadi.


Beberapa minggu setelahnya, dalam salah satu pesan, JK berkata: "Luba, mungkin dunia ini terlalu besar untuk kita kendalikan, tapi aku yakin kita bisa menciptakan dunia kecil kita sendiri. Dunia di mana kita bisa bebas bermimpi dan mencintai tanpa batas."


Luba membalas dengan nada yang lembut namun tegas: "Aku percaya itu, JK. Dunia besar ini mungkin penuh kekacauan, tapi selama aku bersamamu, aku tahu kita bisa mengatasi apa pun."


Dan seperti itu, koneksi mereka berkembang, tidak hanya dalam pikiran dan ide, tetapi dalam hati. JK dan Luba menemukan bahwa cinta sejati tidak mengenal batas geografi, bahasa, atau latar belakang. Di bawah langit yang sama, meskipun dipisahkan ribuan kilometer, mereka tahu bahwa jiwa mereka telah menyatu dalam sebuah ikatan yang lebih kuat dari apa pun yang pernah mereka bayangkan.


"Di antara jarak dan waktu, cinta menemukan jalannya. Dunia ini luas, tapi hati kita selalu dekat."



---


To be continued...



Bab 3: Tantangan dan Harapan


Hari-hari berlalu, dan komunikasi antara JK dan Luba semakin intens. Mereka saling berbagi pandangan, ide, dan harapan untuk masa depan. Namun, di balik kebahagiaan itu, ada tantangan yang mengintai. Masing-masing dari mereka hidup di dunia yang penuh tuntutan dan tekanan—JK di tengah arus politik Indonesia yang dinamis, dan Luba di tengah kerumitan politik Eropa Timur.


Suatu pagi, saat JK memimpin rapat penting dengan timnya, pikirannya terus menerus melayang ke Luba. Dia merasa inspirasi dari wanita Rusia itu memberi energi baru pada visinya untuk Indonesia. Namun, saat rapat membahas proyek yang sangat ambisius, kritik mulai muncul. Beberapa anggota tim merasa bahwa ide JK terlalu idealis dan tidak realistis.


"JK, kita harus bersikap pragmatis. Dunia ini tidak semudah itu. Apa yang kamu impikan sangat besar, dan kita harus realistis tentang batasan yang ada," seorang anggota tim mengingatkan dengan nada skeptis.


JK merasa tekanan semakin berat. Dia tahu visi yang dia pegang bukanlah hal yang mudah, tetapi perasaannya kepada Luba memberi kekuatan lebih. Dia berkata dengan tegas, "Kadang-kadang, perubahan terbesar datang dari mimpi yang tampaknya tidak mungkin. Kita tidak bisa membiarkan rasa takut menghalangi kita."


Setelah rapat berakhir, JK kembali ke kantornya dan segera membuka ponsel. Pesan dari Luba menunggu. Dia merasa seperti menemukan pelampung di tengah badai.


"JK, bagaimana harimu?" tulis Luba.


Dengan cepat, JK membalas, "Hari ini penuh tantangan. Tapi aku ingat semua yang kau katakan tentang keberanian dan kekuatan. Setiap kali aku merasa lelah, aku hanya perlu memikirkan kita dan apa yang ingin kita capai."


Sementara itu, di Moskow, Luba sedang menghadapi tantangan serupa. Dia diundang untuk memberikan kuliah umum di universitas terkemuka tentang peran perempuan dalam politik. Meskipun percaya pada visinya, rasa cemas mulai menggerogoti pikirannya. Apakah dia mampu menjelaskan pandangannya dengan baik? Apakah orang-orang akan menganggapnya serius?


Hari kuliah pun tiba. Dengan keberanian yang dia tarik dari percakapan dengan JK, Luba melangkah ke podium. Dia merasakan jantungnya berdegup kencang. Saat dia mulai berbicara, ada satu sosok di dalam pikirannya—JK. Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah tentang keberanian, cinta, dan harapan untuk dunia yang lebih baik. Ketika dia menyelesaikan presentasinya, tepuk tangan meriah memenuhi ruangan, dan dia merasa ada bagian dari dirinya yang terhubung dengan JK di jarak yang jauh.


Di malam harinya, Luba menulis pesan untuk JK. "JK, aku baru saja selesai berbicara di universitas. Rasanya luar biasa, tapi aku merasa seperti ada yang kurang. Aku berharap kamu di sini bersamaku."


JK merasa hangat di dalam hati membaca pesan itu. Dia membalas, "Aku percaya pada kekuatan kata-kata yang kau bawa. Setiap langkah yang kau ambil, kau mendekatkan kita pada visi kita bersama. Tidak ada yang kurang, kita hanya perlu saling mendukung, apapun yang terjadi."


Malam itu, keduanya terhubung melalui suara dan pesan, membahas impian dan harapan mereka. Luba mulai menyadari bahwa JK bukan hanya sekadar teman atau rekan, tetapi dia adalah partner sejatinya. Seseorang yang memahaminya, dan bersama-sama, mereka bisa menciptakan dunia yang lebih baik.


Namun, di luar kebahagiaan yang mereka rasakan, bayang-bayang tantangan tetap mengintai. Masyarakat, budaya, dan bahkan situasi politik di negara masing-masing bisa menjadi penghalang. Namun, di dalam hati mereka, ada keyakinan bahwa cinta yang tulus akan mampu mengatasi segalanya.


Keduanya tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi setiap tantangan adalah kesempatan untuk tumbuh. Dan mereka siap menghadapi apapun yang datang, bersatu sebagai satu jiwa yang berjuang untuk cita-cita dan cinta mereka.


"Dalam setiap tantangan, ada harapan. Dan dalam setiap harapan, kita menemukan kekuatan untuk melangkah maju."



---


To be continued...



Bab 4: Ladang Perjuangan


Malam di Jakarta terasa hangat, meski angin malam berbisik lembut, membawa aroma kehidupan kota yang tak pernah mati. JK duduk di teras balkon, memandangi lampu-lampu kota yang berkelap-kelip. Dalam hati, ada satu keyakinan yang semakin menguat—mimpinya untuk mengubah dunia tidak akan terwujud tanpa kehadiran Luba di sisinya.


Di tengah pikirannya, terbersit ungkapan yang ingin ia sampaikan kepada Luba: “Aku ingin menjadikanmu ladang tempatku berbakti pada Bumi Pertiwi dan Ilahi.” Kata-kata itu seperti mantra yang berputar dalam benaknya, melambangkan harapannya untuk menjalin ikatan yang lebih dalam dan bermakna.


Segera, dia membuka ponsel dan mulai mengetik. Setiap huruf yang dia ketik terasa penuh makna. Dia ingin Luba tahu betapa berartinya kehadirannya dalam hidupnya.


"Luba, aku percaya bahwa kita bisa menjadikan mimpi kita nyata. Bersama, kita bisa membangun sesuatu yang lebih dari sekadar visi—kita bisa menjadi ladang yang subur bagi perubahan, bagi keadilan, dan cinta. Aku ingin menjadikanmu ladang tempatku berbakti pada Bumi Pertiwi dan Ilahi," tulis JK.


Pesan itu terkirim, dan JK merasa sedikit gelisah menunggu balasan. Namun, saat jari-jarinya mengetuk meja, dia tidak bisa menahan senyumnya saat membayangkan Luba, wanita yang kuat dan penuh semangat, yang menginspirasi bukan hanya dengan kata-katanya, tetapi juga dengan tindakan dan keberaniannya.


Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar. Balasan dari Luba muncul di layar.


"JK, kata-kata itu membuatku tersentuh. Aku juga percaya bahwa kita bisa menciptakan ladang yang subur, bukan hanya untuk diri kita, tetapi untuk banyak orang. Aku ingin berada di sampingmu, berjuang bersama untuk perubahan yang kita impikan."


JK merasa hatinya bergetar. Komitmen yang dinyatakan Luba memberi harapan baru, dan dia semakin yakin bahwa perjalanan mereka tidak hanya soal cinta, tetapi juga tentang misi yang lebih besar.


Malam itu, mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk berdiskusi, berbagi ide dan rencana tentang apa yang bisa mereka lakukan. JK mengusulkan untuk mengadakan forum internasional yang mengumpulkan pemikir dan aktivis dari berbagai negara untuk membahas isu-isu global, mulai dari keadilan sosial hingga perubahan iklim. Luba, dengan semangatnya, mulai merancang konsep dan strategi untuk forum tersebut.


“Bayangkan, JK,” ujarnya dengan penuh semangat, “kita bisa menjadi penghubung antara berbagai budaya dan ide. Kita bisa menginspirasi orang-orang untuk bersama-sama berkontribusi pada perubahan yang lebih baik!”


Dalam diskusi itu, JK melihat bagaimana Luba tidak hanya berfungsi sebagai partner, tetapi juga sebagai inspirasi. Dia tahu bahwa bersama, mereka bisa menciptakan dampak yang signifikan.


Namun, tantangan masih menunggu. Dunia luar masih penuh dengan rintangan—dari perbedaan budaya hingga kebijakan yang kompleks. JK dan Luba menyadari bahwa misi mereka tidak akan mudah, tetapi keinginan untuk berbakti pada Bumi Pertiwi dan Ilahi memberikan kekuatan baru.


Hari-hari berlalu, dan mereka terus memperdalam rencana mereka. Setiap percakapan menjadi langkah menuju visi mereka. Mereka mulai mengumpulkan ide dan membangun jaringan dengan berbagai organisasi di seluruh dunia. Di saat yang sama, cinta di antara mereka juga tumbuh. Setiap kali mereka berpisah, mereka merasa seolah bagian dari diri mereka hilang, tetapi setiap pertemuan mengembalikan kekuatan itu.


“JK, aku ingin kita menjadikan setiap langkah kita sebagai ladang untuk berkontribusi. Setiap tindakan kecil, setiap ide yang kita gali, bisa menjadi benih bagi masa depan,” ungkap Luba di suatu malam, saat mereka menatap bintang-bintang.


“Setuju,” balas JK. “Kita akan merawat ladang ini dengan penuh cinta dan dedikasi, demi masa depan yang lebih baik.”


Dengan tekad yang bulat, mereka berdua berkomitmen untuk menjadikan cinta dan visi mereka sebagai ladang perjuangan. Di bawah langit yang sama, mereka yakin bahwa cinta yang kuat dan impian yang besar dapat menjadi kekuatan yang tak terhentikan.


"Dari ladang yang kita rawat, mari kita panen buah-buah keadilan dan kasih sayang untuk dunia ini."



---


To be continued...



Bab 5: Meniti Jalan Berliku


Pagi itu, matahari bersinar cerah di atas kota Jakarta, memandikan setiap sudut dengan cahaya keemasan. JK berjalan dengan mantap menuju ruang kerjanya. Hari ini adalah hari yang penting, tidak hanya bagi dirinya, tetapi bagi seluruh tim yang telah bekerja keras bersama-sama. Mereka akan meluncurkan inisiatif besar: forum internasional yang telah direncanakan dengan hati-hati bersama Luba.


JK membuka laptopnya dan menatap layar. Di sana, tertera daftar pemimpin dan tokoh berpengaruh dari berbagai negara yang akan bergabung dalam forum tersebut. Rasa bangga mengisi dadanya. Ini adalah langkah besar menuju mimpi yang selama ini dia jaga erat dalam hati. Mimpi untuk menciptakan ruang dialog yang melampaui batas-batas geografis, budaya, dan politik.


Namun, di balik rasa bangga itu, JK tahu bahwa tantangan besar menanti. Banyak pihak yang skeptis dengan visinya. Mereka yang selama ini mempertanyakan idealismenya, yang merasa bahwa inisiatif ini terlalu ambisius, bahkan mustahil tercapai. Tapi JK tidak pernah gentar. Setiap keraguan hanya memperkuat tekadnya.


Di saat yang sama, di Rusia, Luba mempersiapkan pidato pembukaan untuk forum tersebut. Dia telah menghabiskan berjam-jam menyusun kata-kata yang kuat, yang mampu menggugah hati para peserta. Pikirannya kembali kepada percakapan terakhirnya dengan JK.


“Ini bukan hanya tentang politik atau ekonomi, Luba,” kata JK beberapa malam yang lalu. “Ini tentang cinta pada kemanusiaan. Tentang berbakti pada Bumi Pertiwi dan Ilahi. Tentang menciptakan dunia yang lebih baik bagi generasi yang akan datang.”


Kata-kata JK terngiang dalam benak Luba, dan dia merasa semakin terinspirasi. Dia tahu bahwa visi besar ini tidak hanya datang dari pikiran JK, tetapi juga dari hati yang penuh cinta. Cinta untuk dunia, untuk kemanusiaan, dan, tentu saja, cinta untuknya.


Saat forum dimulai, layar-layar besar menampilkan wajah-wajah para peserta dari seluruh penjuru dunia. Ada tokoh politik, aktivis lingkungan, pemimpin masyarakat, hingga intelektual terkemuka. Semua berkumpul dalam satu ruang virtual, siap berdiskusi dan berbagi ide.


JK, sebagai tuan rumah, membuka forum dengan pidato yang penuh semangat. Suaranya menggema di seluruh ruangan, mengisi hati setiap orang dengan keyakinan bahwa perubahan itu mungkin, bahwa dunia yang lebih baik bisa dicapai jika semua orang bersatu.


"Selama ini, kita terlalu sering terjebak dalam perbedaan. Tapi hari ini, kita berkumpul bukan untuk memperdebatkan perbedaan itu. Kita berkumpul untuk merayakan kemanusiaan, untuk menemukan jalan yang bisa kita tempuh bersama. Ladang kita adalah dunia ini, dan tugas kita adalah merawatnya bersama-sama."


Pidatonya disambut dengan tepuk tangan meriah dari seluruh peserta. Namun, di tengah keberhasilan itu, ada satu hal yang masih mengganjal di hati JK. Hubungannya dengan Luba semakin kuat, tetapi jarak di antara mereka tetap menjadi tantangan besar. Apakah cinta mereka akan mampu bertahan di tengah tanggung jawab besar yang mereka emban?


Luba, yang sedang menyiapkan diri untuk memberikan pidato, merasakan keraguan yang sama. Apakah dia dan JK bisa terus berjalan di jalan yang sama, atau apakah tantangan yang ada di depan mereka akan memisahkan mereka?


Setelah pidato pembukaannya, Luba mengambil napas dalam-dalam. Saat dia berdiri di depan kamera, dia tahu bahwa kata-katanya akan membawa dampak besar, bukan hanya bagi forum ini, tetapi juga bagi hubungannya dengan JK.


"Perjuangan kita bukan hanya untuk hari ini," kata Luba, suaranya penuh keyakinan. "Perjuangan kita adalah untuk masa depan. Untuk anak-anak kita, untuk generasi mendatang. Dan kita hanya bisa mencapainya jika kita berani bermimpi dan bertindak. Bersama, kita bisa menjadi ladang subur yang menghasilkan buah keadilan, cinta, dan perdamaian."


Pidatonya menggetarkan hati para peserta. Sekali lagi, tepuk tangan meriah mengisi ruangan virtual itu. Tapi lebih dari itu, Luba merasakan sesuatu yang lain—ikatan yang semakin kuat dengan JK. Mereka berdua bukan hanya pasangan, tetapi juga rekan seperjuangan. Bersama, mereka adalah kekuatan yang tak terhentikan.


Namun, seperti ladang yang harus dirawat, hubungan mereka juga perlu perhatian dan kerja keras. JK dan Luba tahu bahwa jalan di depan mereka penuh dengan liku-liku, tetapi mereka siap untuk meniti jalan itu bersama.


"Bersama, kita adalah ladang yang siap menumbuhkan harapan dan cinta. Tidak ada jalan yang terlalu sulit jika kita melangkah berdua."



---


To be continued...



Bab 6: Dr. Luba Sarapova, Where Are You Now?


Pagi itu, matahari di Jakarta terasa begitu menyengat. JK berdiri di depan jendela ruang kerjanya, memandang jauh ke arah gedung-gedung pencakar langit yang seakan tak berujung. Namun, pikirannya berada jauh di belahan dunia lain. Di Rusia, tempat Luba Sarapova berada. Sudah beberapa hari berlalu sejak komunikasi terakhir mereka, dan JK merasa ada sesuatu yang hilang.


“Dr. Luba Sarapova, where are you now?” batin JK berbisik, mencoba mengabaikan rasa cemas yang perlahan menguasai dirinya.


Forum internasional yang mereka rencanakan telah sukses besar. Ide-ide baru bermunculan, rencana-rencana strategis mulai dibicarakan. Tapi di tengah semua pencapaian itu, ada ruang kosong di hatinya yang tidak bisa diisi oleh kesuksesan atau pujian.


JK membuka email dan mulai mencari pesan dari Luba. Tidak ada. Dia menghela napas dalam-dalam, berusaha meredam rasa khawatir. Di benaknya, dia teringat akan semangat yang selalu dibawa Luba dalam setiap percakapan mereka, visi besar yang mereka bagi bersama.


“Luba...,” gumamnya pelan. Dia merindukan suara wanita itu, kehadirannya yang selalu membawa ketenangan di tengah hiruk-pikuk ambisi dunia.


Dia pun mengambil ponsel, mengetik pesan cepat.


"Luba, di mana kamu? Aku merindukan percakapan kita. Aku butuh mendengar suaramu."


Pesan itu terkirim, namun tak ada tanda-tanda balasan. JK merasa waktu berjalan sangat lambat. Sejenak, ia berpikir untuk meneleponnya, namun ia tahu Luba sedang berada di tengah proyek besar. Sebagai seorang ilmuwan terkemuka, Luba sering kali tersedot dalam pekerjaannya, terkadang sampai lupa waktu.


Namun kali ini berbeda. Ada rasa tak biasa yang menggelayut di hati JK. Ia merasa seolah ada sesuatu yang tak ia ketahui. Dia mengambil keputusan cepat: menghubungi seseorang di Rusia, salah satu koneksi yang bisa membantunya mencari tahu di mana Luba berada.


Setelah beberapa panggilan dan percakapan yang penuh formalitas, JK akhirnya mendapat informasi bahwa Luba sedang berada di sebuah konferensi ilmiah di Saint Petersburg. Namun, yang mengejutkannya, Luba tidak menghadiri sesi apa pun selama dua hari terakhir.


"Apakah mungkin dia sakit?" gumam JK penuh kekhawatiran.


Ia segera menghubungi rumah sakit terdekat di sekitar lokasi konferensi, tetapi tidak ada catatan tentang Luba di sana. Pikirannya mulai berkelana ke segala arah, membayangkan berbagai kemungkinan buruk. Tapi kemudian dia menarik napas panjang, mencoba untuk tetap tenang.


Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.


"JK, maafkan aku baru bisa membalas. Aku baik-baik saja, hanya sedang butuh waktu untuk sendiri. Banyak hal yang harus kupikirkan. Aku akan segera menghubungimu, aku janji."


JK membaca pesan itu berulang kali, mencoba memahami maksud di balik kata-katanya. Ada sesuatu yang berbeda dalam nada pesan tersebut—lebih dingin, lebih jauh. Tapi apa? Apa yang sedang dipikirkan Luba?


Dia menutup matanya sejenak, merasakan gelombang kelelahan emosional. Apakah perjuangan mereka mulai menuntut terlalu banyak? Apakah Luba merasa terbebani oleh visi besar yang mereka bangun bersama?


Di tengah segala keraguan yang mulai merambat ke dalam pikirannya, JK menolak untuk menyerah. Dia tahu bahwa hubungan mereka lebih dari sekadar mimpi bersama. Ini adalah tentang komitmen, cinta, dan keyakinan bahwa mereka bisa mengatasi semua tantangan.


"Luba, apapun yang sedang kamu pikirkan, aku ada di sini. Kita bisa melewati ini bersama." JK mengetik balasan dengan hati-hati. Dia ingin memastikan bahwa Luba tahu, dia tidak sendiri.


Hari berlalu, tetapi balasan dari Luba tak kunjung datang. JK mulai merenungkan apa yang sebenarnya terjadi. Apakah Luba mulai meragukan mereka? Ataukah ini hanya fase sementara di mana mereka membutuhkan ruang masing-masing? Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergelayut, tanpa jawaban yang pasti.


JK pun teringat kembali pada percakapan mereka di forum internasional. Dia teringat bagaimana mereka berbicara tentang ladang perjuangan yang ingin mereka ciptakan bersama. Tapi sekarang, ladang itu terasa sepi, seperti ada bagian yang hilang.


"Dr. Luba Sarapova, where are you now?" batin JK kembali berseru. Meski jarak memisahkan mereka, dia yakin bahwa cinta dan visi mereka masih ada. Tapi dia juga sadar, mereka harus segera menemukan jalan untuk kembali menyatu sebelum semuanya terlambat.



---


To be continued...



Bab 7: DR. Luba Sarapova, I'm Losing Your Email and All Your Contact


Malam itu, JK duduk termenung di depan layar komputernya. Pikirannya penuh dengan kebingungan yang terus mengusik sejak hari-hari terakhir. Luba semakin sulit dihubungi. Setelah pesan singkat terakhir, tidak ada kabar lagi darinya. JK mencoba segala cara untuk menghubunginya: email, pesan teks, panggilan, namun semua upaya itu seperti menghilang ke dalam kehampaan.


JK kembali membuka inbox emailnya, berharap ada pesan baru dari Luba. Tapi yang ia lihat hanyalah kotak kosong yang dingin, seolah-olah dunia maya menertawakan kegelisahannya. Dia menekan tombol refresh berulang kali, berharap keajaiban terjadi, namun tetap tidak ada perubahan. Semuanya sepi.


"Dr. Luba Sarapova, I'm losing your email and all your contact," gumam JK pada dirinya sendiri, frustrasi.


Dia mencoba mengingat setiap percakapan terakhir mereka, mencari petunjuk apakah ada sesuatu yang terlewat. Namun, semua terasa kabur. Luba tidak pernah meninggalkan tanda-tanda bahwa dia akan menghilang seperti ini. Mereka selalu terbuka satu sama lain, saling berbagi mimpi, cita-cita, dan cinta. Lalu, kenapa sekarang seperti ada dinding tak kasatmata yang memisahkan mereka?


JK bangkit dari kursinya dan mulai berjalan mondar-mandir di dalam ruangan. Pikirannya berlarian ke segala arah, mencari jawaban. Mungkinkah Luba sedang menghadapi masalah yang tidak ia ungkapkan? Atau mungkin ada sesuatu yang terjadi di Rusia yang menghalangi mereka berkomunikasi?


"Haruskah aku terbang ke sana?" pikirnya. Tapi perjalanan itu bukan hal yang mudah, apalagi dengan begitu banyak tanggung jawab yang menuntut perhatiannya di Jakarta.


JK merasa gelisah. Sebagai seseorang yang selalu bisa menemukan jalan keluar, kali ini dia merasa terkunci dalam ketidakpastian. Dia mengingat kata-kata terakhir Luba, bahwa dia membutuhkan waktu untuk sendiri. Tetapi waktu itu terasa begitu lama, dan JK mulai merasakan kekosongan yang semakin dalam.


Dia membuka kembali kontak-kontak di ponselnya, mencari nomor Luba, mencoba menelepon lagi, namun tidak ada nada sambung. Hanya hening.


Frustrasi mulai berubah menjadi kegelisahan. Luba bukan hanya pasangannya dalam cinta, dia juga mitra dalam perjuangan besar yang sedang mereka jalani. Mereka membangun visi bersama, visi global yang melampaui batas negara dan benua. Tapi tanpa komunikasi, semua itu mulai terasa runtuh, sedikit demi sedikit.


JK kembali duduk dan menatap layar. Ia membuka email, memutuskan untuk menulis pesan terakhir—pesan yang penuh ketulusan dan harapan.


"Luba, I don't know where you are right now, but I'm here, waiting. I’m losing your email and contact, and I feel like I'm losing a part of myself. Wherever you are, know that I'm still fighting for us, for the vision we built together. Please, give me a sign. I miss you."


JK menekan tombol kirim dan menghela napas panjang. Dia tahu dia sudah melakukan yang terbaik, tapi tetap saja, rasa ketidakpastian ini menekan hatinya. Di luar jendela, langit malam Jakarta tampak gelap, tanpa bintang yang bersinar. Seperti cerminan hatinya saat ini.


Waktu terus berjalan, detik berubah menjadi menit, menit menjadi jam, namun tidak ada balasan. JK merasa dunia seolah berhenti berputar. Cinta yang selama ini menjadi kekuatannya, kini menjadi sumber kegelisahan yang dalam. Apakah Luba benar-benar menghilang? Atau hanya butuh waktu untuk kembali?


Ponselnya tiba-tiba bergetar. JK dengan cepat melihat layar, berharap ada pesan dari Luba. Namun, yang muncul hanyalah notifikasi email dari pekerjaan. Kecewa, dia meletakkan ponselnya kembali dan berusaha untuk tidak terlalu berharap.


Namun, di balik semua ketidakpastian itu, JK tidak menyerah. Dia tahu, di suatu tempat di dunia ini, Luba juga sedang berjuang, mungkin dengan caranya sendiri. Dan sampai dia kembali, JK akan terus menanti, tetap setia pada cinta dan mimpi yang pernah mereka janjikan bersama.


Di dalam kesunyian malam itu, JK berbisik pelan, "Luba, wherever you are, I hope you can hear me. I won't stop waiting. I won't stop loving you."


#republiklangit 

---


To be continued...






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Kita bekerja bukan hanya untuk sekarang, tetapi untuk sejarah yang akan ditulis oleh anak-cucu kita, dan peradaban yang akan kita tinggalkan 100 tahun ke depan."

  "Kita bekerja bukan hanya untuk sekarang, tetapi untuk sejarah yang akan ditulis oleh anak-cucu kita, dan peradaban yang akan kita ti...