Benarkah Pengikut Jokowi Lebih Pintar dari yang Kontra dan Kritis?
Pertanyaan ini sering muncul dalam diskusi politik, terutama di media sosial. Untuk menjawabnya secara objektif, kita perlu memahami beberapa aspek: (1) definisi kepintaran, (2) pola pikir pengikut dan oposisi, serta (3) bagaimana politik mempengaruhi persepsi kecerdasan.
1. Definisi Kepintaran dalam Konteks Politik
Kecerdasan tidak hanya soal IQ atau akademik, tetapi juga mencakup kecerdasan kritis, emosional, dan politik. Orang yang mendukung Jokowi bisa merasa lebih pintar karena melihat keberhasilan infrastruktur, stabilitas ekonomi, dan diplomasi internasional. Sebaliknya, yang kritis merasa lebih rasional karena melihat kelemahan seperti oligarki, korupsi, dan pelemahan demokrasi.
2. Pola Pikir Pendukung vs. Kritis
- Pendukung Jokowi cenderung melihat capaian yang bersifat makro, seperti pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Mereka mengutamakan pragmatisme dan stabilitas politik, percaya bahwa pembangunan butuh kontinuitas.
- Kelompok kritis melihat dampak jangka panjang, mempertanyakan utang, ketimpangan ekonomi, pelemahan demokrasi, dan dugaan korupsi. Mereka lebih waspada terhadap oligarki dan kebijakan yang merugikan rakyat kecil.
3. Politik dan Persepsi Kepintaran
- Media & Algoritma: Narasi yang dibangun oleh media pro-pemerintah bisa menciptakan ilusi bahwa pendukung Jokowi lebih "pintar" karena mereka memiliki akses ke informasi yang lebih luas. Namun, kelompok oposisi juga memiliki sumber data sendiri, sering kali lebih tajam dalam mengkritisi kebijakan.
- Dikotomi Salah Kaprah: Menyamakan dukungan dengan kepintaran adalah bias kognitif. Kecerdasan politik bukan diukur dari posisi pro atau kontra, tetapi dari kemampuan menganalisis secara kritis dan melihat kebijakan secara objektif.
Kesimpulan: Kepintaran Itu Relatif
Tidak bisa dikatakan bahwa pengikut Jokowi lebih pintar atau lebih bodoh daripada mereka yang kritis. Yang membedakan adalah cara berpikir, sumber informasi, dan kepentingan. Pendukung melihat stabilitas dan pembangunan, sementara kelompok kritis melihat sisi gelap kekuasaan.
Jadi, bukan soal siapa yang lebih pintar, tetapi siapa yang lebih berani berpikir kritis dan tidak terjebak propaganda politik.
#PolitikCerdas #KritikTanpaBenci #NarasiObjektif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar